Jumat, 28 November 2008

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI:
SOLUSI ALTERNATIF PEMBENAHAN DUNIA KEHUTANAN

Oleh : Kristian H. Sihaloho, S. Hut.

Era pembukaan hutan alam oleh perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan, sekarang IUPHHK) telah berakhir sudah. Keadaan ini ditandai dengan semakin kecilnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan hutan alam. Berdasarkan data yang dirilis oleh DEPHUT (Data Strategis Kehutanan, 2005) jumlah perusahaan HPH/IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) yang ada di Indonesia sampai bulan Agustus 2006 sebanyak 303 unit perusahaan dengan luas areal 28,1 juta ha. Namun yang aktif hanya 149 unit dengan luas areal 14,6 juta ha (EG. Togu Manurung, Roadmap Revitalisas Kehutanan, 2007).
Banyaknya jumlah perusahaan yang tidak aktif ini (154 unit) ditengarai karena semakin sulitnya mencari lokasi/areal hutan yang masih memiliki tegakan hutan alam dengan diameter besar (> 80 cm) untuk dapat dijadikan bahan baku plywood (kayu lapis), kurang profesionalnya sumber daya manusia yang mengelola perusahaan serta rendahnya komitmen terhadap sistem pengelolaan hutan yaitu sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) sebagai landasan kerja HPH/IUPHHK dalam pengelolaan hutan alam dengan sistem sylvikultur Permudaan Alam maupun Permudaan Buatan. Pengelolaan hutan hanya dititikberatkan pada pengambilan potensi kayu tanpa melakukan kegiatan penanaman kembali untuk meminimalisir kerusakan hutan dan mengembalikan potensi hutan yang telah diambil. Keadaan ini mengakibatkan banyaknya areal terlantar/marjinal yang telah ditinggalkan pengusaha yang pada akhirnya berpotensi menciptakan masalah lingkungan (pemanasan global) dan sosial (hilangnya mata pencaharian penduduk sekitar, penurunan kesejahteraan, dll).
Tindakan pengelolaan hutan yang serampangan ini mengakibatkan laju deforestasi yang sangat tinggi dan berdampak pada kerusakan ekosistem hutan (Berdasarkan pemetaan Dephut, 1985-1997 angka deforestasi 1,87 juta hektar, 1997-2000 angka deforestasi 2,83 juta hektar, 2000-2005 angka deforestasi 1,18 juta hektar). Kondisi diatas cukup mencoreng praktisi (rimbawan) kehutanan Indonesia yang dituding sebagai penyebab kerusakan hutan Indonesia. Hutan yang seharusnya dapat dikelola untuk memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi bagi kehidupan masyarakat sekitarnya tidak berjalan dengan optimal.
Melihat kondisi diatas langkah penanganan dan pembenahan hutan Indonesia harus segera dilakukan karena begitu luas (16,4 juta ha) areal hutan produksi yang terbuka atau “open access” dan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap lingkungan maupun kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan upaya mengembalikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi lewat pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembangunan HTI diyakini sebagai langkah alternative yang cukup pantasdan relevan untuk dijadikan sebagai model perbaikan fungsi hutan karena pengelolaan HTI menerapkan sistem sylvikultur tebang habis dengan penanaman kembali (KEPMENHUT No. 435/Kpts-II/1997, pasal 1).
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. sebagai satu-satunya perusahaan HTI di Prop. Sumatera Utara dengan luas areal konsesi 269.060 Ha (SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992) telah melakukan kegiatan pembangunan HTI dengan sistem sylvikultur yang telah ditentukan oleh pemerintah yaitu tebang habis dengan penanaman kembali. Konsep penegelolaan hutan yang dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan pengelolan hutan yang dilakukan oleh HPH pada umumnya. Letak pebedaan itu a.l:
Pengelolaan hutan dilakukan pada areal marjinal atau terlantar.
Melakukan pembukaan hutan secara terbatas dengan meninggalkan zona penyangga hutan (green belt). Tidak mengeksploitasi hutan secara keseluruhan.
Kepastian untuk menanam areal yang telah ditebang dengan jenis tanaman perennial (tahunan) cepat tumbuh (Fast Growing Species) yaitu Eucalyptus sp (panen 6-7 tahun). Bahan baku berasal dari penanaman pohon secara berkesinambungan.
Pola pemanenan ramah lingkungan. Hanya mengambil batang pohon dan meninggalkan ranting, cabang dan daun sehingga nutrisi/unsur hara yang telah diserap tanaman dikembalikan lagi ke tanah serta memelihara tunggul tanaman yang telah ditebang untuk dijadikan tanaman selanjutnya (coppicing).
Memperhatikan kelestarian lingkungan (ISO 14001) serta menerapkan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK 3, Golden Flag) dalam operasional kehutananan maupun pabrik.
Melalui beberapa konsep pengelolaan hutan yang dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. dapat kita simpulkan bahwa operasional HTI turut menyumbang untuk perbaikan kondisi ekologi, social maupun ekonomi di sekitarnya melalui berbagai aktivitas dalam pembangunannya. Melalui pembangunan HTI yang dilakukan maka akan dapat menutupi areal-areal terlantar yang dahulunya terbuka (open acces) menjadi areal yang memiliki daya guna. Selain dari operasional HTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. yang mendatangkan peningkatan pendapatan masyarakat daris sisi ekonomi, peran HTI yang dikembangkan untuk perbaikan fungsi ekologis juga cukup besar. Hal ini secara ilmiah dapat dilihat dengan kemampuan tanaman untuk dapat mengabsorpsi CO2 melalui proses photosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Biomassa tersebut dapat berupa akar, batang, ranting, cabang maupun daun. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Jasa hutan berupa penyerapan CO2 ini merupakan salah satu potensi penambah income (selain kayu dan atau hasil ikutan) bagi kehutanan Indonesia, sekaligus mendorong tercapainya pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Mempertimbangkan hal hal tersebut diatas, pembangunan Hutan Tanaman Industri sudah saatnya menjadi model penyelamatan hutan Indonesia yang semakin hari kian terpuruk karena ketidakjelasan orientasi pengelolaannya. Melalui pembangunan hutan tanaman industri yang terintegrasi dengan industri seperti yang dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. merupakan konsep pembangunan hutan dimasa depan, karena akan terjadi subsidi silang dan mampu mempertinggi keuntungan baik bagi pengusaha, pemerintah maupun alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan hutan tanaman.
Semoga…
SELAMATKAN BUMI DENGAN PEMBANGUNAN HTI
Oleh : Edina Emininta Ginting, S.Hut.

Industri pulp merupakan salah satu industri hasil hutan yang sangat penting, karena perannya dalam perolehan devisa dan ekonomi nasional. Percepatan pembangunan hutan tanaman oleh industri maupun masyarakat dan industri pulp yang menjadi prioritas sektor kehutanan juga dilatarbelakangi oleh kondisi dan tingkat degradasi hutan alam yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan penyediaan bahan baku industri kayu, penerapan prinsip dan persyaratan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya untuk produksi kayu pulp, perlu direncanakan serta dikendalikan dengan cermat dan penuh tanggung jawab sehingga tidak menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial maupun lingkungan, tanpa menghambat kebijakan pengembangan hutan tanaman industri yang sedang dipacu oleh Departemen Kehutanan. Pembangunan hutan tanaman industri yang terintegrasi dengan industri merupakan konsep pembangunan hutan dimasa depan, karena akan terjadi subsidi silang dan mampu mempertinggi keuntungan baik bagi pengusaha, pemerintah maupun alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan hutan tanaman.
Hutan Tanaman merupakan suatu konsep pembangunan hutan yang bertujuan untuk mengatasi berbagai persoalan yang bermuara pada terciptanya kelestarian ekosistem lingkungan dan berkelanjutan peran sosial-ekonomi sumber daya hutan. Dalam prespektif tersebut, diperlukan suatu konsep penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi kawasan hutan tidak produktif yang dipadukan dengan ketersediaan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri kehutanan. Sejalan dengan kebijakan restrukturisasi sektor kehutanan,
Pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu lingkungan yang populer untuk dibahas selama beberapa waktu belakangan ini. Bumi yang semakin tua dan panas terasa gerah oleh isu perubahan iklim dan pemanasan global yang menggugah kesadaran para pemerhati lingkungan. Seyogyanya, konsep pembangunan hutan tanaman industri yang lestari dan berkesinambungan dapat dijadikan benteng bagi peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca di atmosfer sebagai sumber utama penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Gas rumah kaca secara alami penting untuk kehidupan di bumi. Tanpa mereka, kita tidak dapat hidup karena bumi akan menjadi terlalu dingin. Namun, jumlah mereka yang terlalu banyak dan peningkatan temperatur global membuat iklim menjadi tidak stabil, sehingga kesehatan kita dan kesehatan ekosistem global berada dalam bahaya. Aktifitas manusia telah melepaskan lebih banyak gas rumah kaca ke atmosfer, meningkatkan temperatur global rata-rata dan menciptakan perubahan iklim.
Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca dan karena berfungsi sebagai perangkap panas di atmosfer, menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dramatik sejak dimulainya revolusi industri, dimana berdasarkan pengukuran di Mauna Loa, CO2 di atmosfer meningkat sekitar 31% dari 288 ppm pada masa pra-revolusi industri menjadi 378 ppm pada tahun 2004 (Keeling dan Whorf, 2004). Penyebab utamanya adalah pembakaran batu bara dan minyak bumi, dan diikuti dengan deforestasi yang akhir-akhir ini semakin meningkat.
Untuk meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan upaya menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer dan konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC), melalui Protokol Kyoto mewajibkan negara-negara industri untuk menurunkan emisinya sebesar 5% dari level tahun 1990. Dalam protokol ini, afforestasi dan reforestasi dihitung sebagai rosot karbon yang kegiatannya termasuk dalam kerangka CDM (Clean Development Mechanism). Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses photosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Jasa hutan berupa penyerapan CO2 ini merupakan salah satu potensi penambah income (selain kayu dan atau hasil ikutan) bagi kehutanan Indonesia, sekaligus mendorong tercapainya pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Mempertimbangkan hal hal tersebut diatas, pembangunan Hutan Tanaman yang terkonsep untuk keperluan industri seyogyanya dilakukan secara serius sehingga membuahkan hasil berupa areal hutan tanaman yang lestari dan berkesinambungan. Manfaatnya dalam menunjang produktivitas hutan akan berdampak bagi dunia umumnya yang diharapkan mampu mengurangi dampak gas rumah kaca, yakni pemanasan global dan perubahan iklim.
.
SDM Tobafiber : Melangkah Ke depan
Kristian H. Sihaloho, S. Hut.

Salam Lestari.....

Produktifitas hutan alam yang semakin menurun baik segi kuantitas maupun segi kualitas disebabkan antara lain oleh kurang terkendalinya operasional logging, maraknya illegal logging, perambahan dan konversi lahan hutan menjadi areal lain, serta kebakaran yang terjadi baik secara alami akibat kekeringan yang panjang maupun non alami akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) mulai marak dikembangkan. Hal ini yang kemudian mendorong pesatnya Perkembangan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Percepatan pembangunan hutan tanaman oleh industri maupun masyarakat yang merupakan bagian penting dalam prioritas pembangunan sektor kehutanan diharapkan menjadi salah satu tulang punggung menggeliatnya perekonomian Indonesia.
Melihat perkembangan yang sedemikian rupa, management PT. Toba Pulp Lestari Divisi Fiber mengambil langkah cepat dengan menggiatkan kembali pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) agar kelak dapat menjalankan dan mengelola Hutan Tanaman Industri di berbagai Busines Unit perusahaan. Perusahaan menyadari bahwa SDM yang cakap dan handal merupakan salah satu faktor penentu dalam membawa keberhasilan pengelolaan HTI. PT. Toba Pulp Lestari yang berada di bawah payung organisasi FiberOne – RGM Group dipercaya untuk membantu pengelolaan SDM RGM group yang sedang gencar-gencarnya melakukan expansi areal ke bumi Borneo (Propinsi Kalimantan) dan Bumi Cenderawasih (Propinsi Papua). Expansi Business Unit ini menuntut perusahaan/group dapat menyediakan tenaga-tenaga muda yang professional dan tangguh untuk dapat ditempatkan dan mengelola areal yang akan dijadikan Hutan Tanaman Industri di daerah tersebut.
Sejalan dengan semangat ini, perusahaan telah melakukan pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi tenaga kerja muda yang akan dikirim ke Kalimantan dan Papua. Kegiatan diklat untuk penyediaan tenaga professional bagi kawasan Indonesia Bagian Timur ini dikemas dalam sebuah program yang dinamakan Supervisory Trainee (ST). Karyawan yang tergabung dalam program ini direkrut dari berbagai Universitas yang ada di Indonesia baik dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dengan latar belakang pendidikan dititikberatkan pada bidang kehutanan dan pertanian (operasional lapangan) serta manajemen/akuntasi (supporting department). Melihat model perekrutan ini maka nuansa KEBHINEKAAN dan semangat NASIONALISME sangat kental terasa pada program ini. Setiap individu akhirnya “dipaksa” untuk berakulturasi satu sama lain agar dapat menjalankan program training dengan baik. Sesuai dengan namanya, diharapkan setiap peserta diklat nantinya dapat menjadi calon Assissten/Supervisor atau setara Assisten yang professional dan tangguh di lapangan dalam mendukung pengelolaan areal HTI.
Sampai dengan bulan September 2008, PT. Toba Pulp Lestari telah berhasil mengirimkan personel ST ke Kalimantan Timur sebanyak 120 orang (ST 1 – ST 6) yang tersebar di dua perusahaan yaitu PT. ITCI Hutani Mandiri – Balikpapan (48 orang) dan PT. Adindo Hutani Lestari – Malinau (72 orang), kedua perusahaan tersebut berada di Propinsi Kalimantan Timur. Sedangkan yang masih dalam tahap diklat di Porsea sebanyak 31 orang. Total ST yang berada dibawah pengawasan PT. Toba Pulp Lestari sebanyak 161 orang yang terbagi dalam 8 angkatan baik untuk kebutuhan operasional lapangan maupun administrasi. Jumlah ini diluar peserta yang dinyatakan gagal dalam program, yakni sebanyak 10 orang (diskualifikasi karena nilai pelatihan yang kurang maupun akibat tindakan indisipliner).

Model Pelatihan ST
Teknik pelaksanaan pelatihan (training) bagi para ST dilakukan dalam beberapa tahapan yang diatur sehingga memenuhi 3 prinsip yang menjadi spirit (semangat) dan fondasi dalam pengembangan SDM di lingkup perusahan yang disingkat dengan ASK yaitu :
ATTITUDE
Pola, disiplin, dan sikap karyawan dalam melakukan tugas dan tanggung jawab yang diberikan perusahaan.
SKILL
Kemampuan teknis karyawan melakukan pekerjaan
KNOWLEDGE
Pengetahuan karyawan terhadap pekerjaannya baik secara ilmiah maupun umum.

Konsep pelatihan dengan prinsip pengembangan terhadap ASK bagi para ST dilakukan dengan tahapan sbb :

1. Orientasi
Pada masa ini kepada peserta disampaikan penjelasan mengenai kegiatan perusahaan baik dari segi produksi (Fiber dan Mill), hubungan masyarakat maupun kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Kegiatan Wood Supply dan Plantation serta department supportingnya disampaikan secara ringkas. Kunjungan pabrik juga dilakukan untuk dapat melihat produk akhir dari Fiber Division yaitu pulp. Untuk memenuhi pembinaan pada unsur Attitude, maka pada tahap orientasi ini dilakukan OUTBOUND (pelatihan di alam luar) selama 3 hari di Aek Pansi Estate Aek Nauli. Melalui Outbound diharapkan dapat bermunculan pribadi-pribadi yang memiliki disiplin tinggi, loyal, dan dapat bekerjasama untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Pelaksanaan Outbound ini sangat membantu dalam melakukan tahapan pembinaan selanjutnya bagi para ST. Kegiatan orientasi ini berlangsung selama 7 hari.

2. Class Room Training
Masa orientasi akan dilanjutkan dengan pelatihan kemampuan teknikal operasional Fiber. Melalui pelatihan ini akan diberikan materi kegiatan seluruh departmen yang ada di lingkup Fiber dengan sistem “class room lecturing”. Penyampaian materi merupakan suatu metode untuk membekali para ST mengenai konsep-konsep ilmiah operasional sehingga diharapkan pengetahuan mereka akan teori tersebut dapat dikembangkan ketika melakukan aplikasi di lapangan. Selain itu selama kegiatan “class room lecturing” di Porsea, para ST jug wajib melakukan olah raga pagi yang dilakukan jam 05.00 WIB sebagai media untuk membangun sejak dini kedisiplinan diri dan untuk mendekatkan ST kepada nuansa kerja di lapangan (estate) yang telah mulai beraktivitas pada jam 05.45 WIB. Kegiatan class room ini berlangsung selama 30 hari.

3. On The Job Training as Worker
Setelah selesai mempelajari teori operasional di kelas maka dilanjutkan dengan On The Job Training as Worker (OJT sebagai Pekerja). Tahapan ini mengharuskan ST bertindak selayaknya pekerja harian di lapangan. Kegiatan yang mereka lakukan mencakup seluruh operasional fiber khususnya plantation seperti slashing, spraying dan planting serta beberapa kegiatan Wood Supply seperti felling, bucking, stacking dan road maintenance. Peserta selama melakukan OJT di estate wajib tinggal di areal kerja dengan mendirikan camp tenda pleton serta melakukan kegiatan logistik (makan minum) dan MCK di areal tersebut dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di seputaran camp (tidak diperkenankan untuk memakai perlengkapan diluar yang telah disediakan instruktur). Tujuan dari tahapan ini adalah agar para ST dapat mengetahui dan langsung merasakan bagaimana suatu pekerjaan operasional fiber itu dilakukan sehingga kedepannya dapat memimpin, menganalisis dan memberikan suatu solusi yang terbaik bagi organisasi kerja dalam melakukan suatu kegiatan. Kegiatan OJT sebagai pekerja ini direncanakan berlangsung selam 45 hari kerja.
Juanda Panjaitan, SE (Dy. GM Tobafibre) memberikan pengarahan kepada Supervisory Trainee pada saat kegiatan worker (pekerja) di Estate Aek Nauli, 9 Oktober 2008.

4. On The Job Training as Mandor
Sebelum melangkah pada tahapan ini, ST menjalani wawancara dari tim fiber untuk melihat sejauh mana pengetahuan mereka terhadap kegiatan OJT sebagai worker plantation dan sekaligus untuk menggali minat dan potensi ST terhadap department di lingkup fiber yang akan menjadi tempat bagi mereka untuk OJT sebagai Mandor Trainee. Pada tahapan OJT sebagai mandor, setiap anggota ST akan dibimbing untuk dapat memimpin crew dan melaksanakan tugas selayaknya mandor pada department operasional (Plantation dan Wood Supply) maupun pada department supporting (Planning, Nursery, GA, R & D, ILE, and FSS). Mereka diharapkan dapat melakukan pengawasan, mengambil keputusan dan selanjutnya dapat mengimplementasikan tujuan perusahaan dengan optimal. Sebagai ujung tombak perusahaan atau “front liner” fungsi dan tugas mandor sangat berperan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu QUALITY, QUANTITY, dan COST. Kualitas yang optimal, pencapaian target, dan biaya operasional yang kompetitif. Masa OJT ini dapat dijadikan sebagai ajang pembelajaran untuk menggai ilmu-ilmu dasar operasional HTI karena para ST dilibatkan langsung dalam pencapaian produksi maupun administrasinya. Kegiatan ini berlangsung selama 30 hari.

5. OJT as Assisstant
Setelah masa Mandor Trainee berahir, para ST akan diinterview kembali untuk melihat sejauh mana kecakapan mereka sebagai Mandor Trainee baik secara operasional, administrasi, dan pencapaian produktivitas. Jika tim fiber menilai yang bersangkutan cukup memahami dan mampu sebagai Mandor maka para ST akan memasuki tahapan akhir dari program training yaitu OJT sebagai Assisstant Trainee. Peran sebagai Assisstant Trainee ini lebih diarahkan kepada kemampuan untuk mengkordinasikan, membuat perencanaan dan menganalisis operasional yang dilakukan. Posisi sebagai Assisstant Trainee berlangsung sekitar 20 hari dan pada tahapan ini ST akan memimpin beberapa orang mandor dalam melakukan kegiatan operasional di lapangan. Jika ST berada pada department supporting maka tugas dn tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka setingkat assistant.

Setelah 5 tahapan diatas selesai dilakukan, maka ST akan menghadapi final test yaitu dengan melakukan presentasi di depan para Askep, Department Head dan Dy. GM Fibre. Presentasi ini melingkupi pemahaman atas operasional lapangan, administrasi, sikap kerja, serta improvement yang telah dilakukan di lapangan. Hasil dari presentasi yang digabungkan dengan penilaian dari lapangan inilah yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar layak tidaknya para ST dinyatakan lulus dari Program Training dan siap diberangkatkan ke Business Unit yang membutuhkan (Pacifik Fiber dan Papua Fiber).

Cukup panjang memang tahapan yang harus dilalui oleh karyawan yang tergabung dalam program Supervisory Trainee (sekitar 6 – 10 bulan, berikut additional project) untuk dapat menjadi seorang profesional muda yang turut menentukan arah pembangunan Hutan Tanaman Industri di Indonesia kelak. Besar harapan semoga melalui program Supervisory Trainee yang telah disusun oleh team Human Resources Development (HRD) di bawah kepemimpinan HRD Manager Wilim dan dukungan penuh dari Dy. GM Fiber Juanda Panjaitan akan dihasilkan “produk” SDM yang dapat “berbicara” lebih baik dengan Attitude, Skill, dan Knowledge yang mantap.

Semoga....






Porsea, 20 Oktober 2008